Tulungagung - Aktivitas penambangan pasir mekanik di sepanjang bantaran Sungai Brantas yang melintasi wilayah Rejotangan, Kates, Kaliwungu, dan Pulosari di Kabupaten Tulungagung diduga telah dikuasai oleh kelompok mafia. Penambangan ilegal ini tidak hanya merusak ekosistem sungai, tetapi juga menyebabkan erosi yang berpotensi mengancam kawasan sekitar. Meskipun sering mendapat teguran dan laporan masyarakat (dumas), para pelaku tetap nekat menjalankan aksinya dengan alasan kebutuhan ekonomi.
Dalam investigasi yang dilakukan tim kami di ujung timur Tulungagung, ditemukan setidaknya lima titik penambangan pasir mekanik yang aktif di timur Jembatan Rel Kereta Api Nguri, di Desa Rejotangan dan Kates. Setiap harinya, lokasi ini menghasilkan puluhan truk pasir berkualitas tinggi, yang dijual untuk memenuhi permintaan pasar.
Beberapa warga setempat menyebutkan bahwa aktivitas penambangan pasir di lokasi tersebut berlangsung tanpa henti, baik siang maupun malam. “Di sini alat berat berwarna biru selalu digunakan untuk menyedot pasir, dan hampir tidak pernah berhenti,” ungkap salah seorang warga.
Tidak hanya di Rejotangan dan Kates, aktivitas serupa juga ditemukan di beberapa titik lain di sepanjang Sungai Brantas. Di wilayah Bontaran, terdapat sekitar dua hingga empat titik penambangan pasir yang telah beroperasi bertahun-tahun tanpa ada tindakan tegas dari pihak berwenang. Di sekitar pabrik kunir (pabrik gula) di Ngunut, aktivitas penambangan pun berlangsung dengan rapi dan terorganisir. Hasilnya, pasir uruk dan pasir hitam diproduksi setiap hari dan dijual dengan harga antara Rp700 ribu hingga Rp900 ribu per dump truk, sementara limbah berupa grosok dihargai sekitar Rp160 ribu per truk.
Pendapatan harian dari aktivitas ini diperkirakan mencapai puluhan juta rupiah, terutama dari lokasi-lokasi di sepanjang bantaran selatan Sungai Brantas yang melintasi wilayah Rejotangan hingga Ngunut.
Dalam pengoperasian alat berat dan mesin diesel, para penambang pasir ilegal ini menggunakan bahan bakar solar bersubsidi yang mudah diperoleh di beberapa SPBU sekitar Rejotangan, Ngunut, dan wilayah utara Sungai Brantas di Srengat. Solar ini biasanya diperoleh dengan memodifikasi truk, yang kemudian digunakan untuk mendukung aktivitas penambangan pasir mekanik tersebut.
Aktivitas penambangan ilegal ini jelas melanggar hukum. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), penambangan tanpa izin terancam hukuman hingga 10 tahun penjara. Selain itu, penggunaan solar bersubsidi juga melanggar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, dengan ancaman pidana maksimal 15 tahun penjara dan denda hingga Rp60 miliar.
Sejauh ini, aktivitas penambangan pasir mekanik ilegal di sepanjang Sungai Brantas ini terus berlangsung tanpa adanya tindakan tegas dari aparat berwenang. Kehadiran oknum-oknum yang diduga menjadi "pelindung" bagi para mafia pasir semakin memperkuat posisi mereka, sehingga para pelaku tampak kebal terhadap hukum. Hingga saat ini, belum ada keterangan resmi dari pihak terkait mengenai langkah yang akan diambil untuk menghentikan perusakan lingkungan di bantaran Sungai Brantas ini.
Masyarakat berharap agar pemerintah daerah, kepolisian, dan instansi terkait lainnya dapat segera mengambil tindakan tegas untuk menghentikan aktivitas penambangan ilegal. (Marlin)